Minggu, 04 Agustus 2013

Jangan pernah merasa mendapat hidayah


                Kenangan yang diperoleh selama pembelajaran di bulan Ramadhan selamanya dapat dikenang dan begitu membekas. Banyak orang yang mendapat hidayah saat Ramadhan, banyak orang sudah dapat merasakan manisnya iman pasca ramadhan. Pelajaran yang diperoleh selama Ramadhan harus tetap menjadi pelajaran baik untuk diamalkan. Sebab, jika tak diamalkan maka sia-sialah kita memintal kusutnya benang hati selama Ramadhan melalui ritual-ritualnya selama sebulan penuh. Bagi hamba Allah yang lulus dengan predikat cumlaude, maka ia akan memperlakukan sebelas bulan pasca Ramadhan sebagai bulan “Ramadhan.” Sebab ia telah merasakan nilai-nilai spiritual yang begitu dahsyat menghantam dan mengguncang kalbunya. Tak ada waktu bagi dirinya untuk kembali bermaksiat. Tapi bagi manusia yang menganggap ramadhan hanya sebagai “bulan pencuci dosa,” maka hatinya lambat laun akan kembali bermaksiat.
                Inilah sesungguhnya parameter untuk menilai sebuah kemenangan. Apakah hati kita sudah merasakan nikmatnya shalat, manisnya iman, dan lezatnya ketaatan? Atau hati kita merasa gembira karena “terbebaskan” dari shalat tarawih yang melelahkan, bangun shalat malam tahajud dilanjutkan sahur, menahan lapar dan dahaga seharian penuh? Orang yang menang adalah orang yang mengembalikan harta korupsinya, yang tak akan makan makanan haram, yang tidak akan menipu lagi saat berdagang, yang akan mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan dalam perilaku dan tutur katanya.
                Sedangkan orang-orang yang lalu menganggap puasa di bulan Ramadhan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Mereka tak paham makna dan haikat Ramadhan sebagai bulan penuh berkah, bulan pembelajaran. Usai Ramadhan, mereka pun ramai-ramai kembali maksiat. Salah satu keanehan yang saya lihat dan rasakan di dalam diri saya dan diri manusia kebanyakan adalah kecenderungan untuk lalai terhadap apa yang ada ditangan kita, padahal kita mengetahui betapa pendeknya umur kita.
                Hal ini menunjukkan bahwa banyak sekali kaum muslimin yang keliru dalam memahami keimanan. Mereka merasa telah mendapatkan hidayah pasca Ramadhan. Mereka merasa ibadah-ibadah yang mereka lakukan selama Ramadhan; mulai dari berbuka puasa serya menyantuni anak yatim, menyuguhkan ta’jil di masjid dekat rumah, tuan rumah yang menyelenggarakan shalat tarawih, melimpahkan infaq, sedekah, hingga zakat, dan lain-lainnya merupakan sertifikat sah untuk memperoleh hidayah dari Allah swt. Pendapat ini jelas tidak benar.
                DR. ‘Aidh bin Abdullah al-Qarni berkata, “Sesungguhnya untuk meraih hidayah tidak cukup dengan hanya banyak ibadah. Ia harus disertai dengan hal-hal yang berkaitan dengan hati dan keimanan. “ Itulah faktor yang membuat Abu Bakar ra mengungguli semua sahabat. Sebab, Abu Bakar ra. tidak unggul karena shalat dan puasa, tapi karena sesuatu yang terdapat dalam hatinya, Karena itulah dikatakan, “Iman itu bukan dengan hiasan dan angan-angan, namun dengan sesuatu yang menetap dalam hati dan dibenarkan oleh perbuatan.”
                Banyak sekali ahli ibadah yang salah paham ketika mereka mengira bahwa kepayahan dan berlama-lama dalam beribadah merupakan jalan untuk meraih hidayah. Karena itulah, mereka lalu mengadakan bahkan menciptakan hal-hal baru untuk mendapatkan hidayah ini, seperti; hidup bagaikan rahib, puasa setiap hari dan bid’ah-bid’ah lainnya yang tidak disyari’atkan Allah swt. Bukankah Allah tidak pernah menilai hamba-Nya dari “banyaknya amal” merlainkan “lebih baik amalnya.” Perhatikan ayat berikut: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan adalah ‘Arsy-nya diatas air, agar Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Huud[11]:7).
                Diriwayatkan bahwa suatu ketika seseorang bertanya kepada al-Fudhail, “Apa yang dimaksud dengan amal yang paling baik?” Ia menjawab,”Amalan yang paling benar dan paling murni.”
                Orang itu bertanya lagi, “Apa yang dimaksud dengan amal yang paling benar dan paling murni itu?” Al-Fudhail menjawab, “Amal yang paling murni adalah amal yang ditujukan untuk meraih ridha Allah, sedangkan amal yang paling benar adalah amalan yang mengikuti sunnah Rasulullah saw.” (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar