Namaku
Ameen Al-Athiya An-Nawajha. Aku lahir di Rafah, sebuah wilayah perbatasan
antara Gaza City, Palestina, dengan wilayah Mesir. Kau mungkin tidak akan
menemukan nama Palestina, tanah airku, dalam daftar negara yang diakui di
dunia. Tapi, kau bisa menemukan nama Palestina, tanah airku, dalam daftar
negara yang diakui di dunia. Tapi kau bisa menemukan negara Israel. Di dalam
wilayah itulah negara kami berada.
Tahun
1948, sebuah negara bernama Israel berdiri di atas tanah bangsa kami.
Orang-orang Yahudi yang berpencar di seluruh dunia berduyun-duyun datang ke
tanah kami. Mereka datang bergelombang, berkelompok, lalu membangun
pemukiman-pemukiman untuk kaum mereka sendiri. Mereka datang bukan untuk
menjabat tangan kami dan tinggal berdampingan, tapi meminggirkan kami,
membangun tembok-tembok tinggi, dan mengancam kami dengan moncong senjata
mereka. Kami terusir di tanah sendiri.
Aku
seorang dokter umum di Najjar Hospital di Rafah, Gaza City. Menolong orang,
siapa pun dia, adalah kegemaranku. Sejak lahir, aku menyaksikan orang-orang
terluka di depan mataku. Rasanya menyakitkan tidak berdaya di hadapan mereka
yang sedang terluka. Karena itulah, aku memutuskan untuk meninggalkan negaraku
selama enam tahun dan tinggal di Kazakhstan. Aku belajar ilmu kedokteran di
Kazakh University karena tidak satu pun universitas di Palestina yang mampu
menyelenggarakan pendidikan kedokteran. Padahal, dokter adalah salah satu
profesi penting yang harus dimiliki oleh negaraku yang compang-camping
diterjang rudal Israel. Untungnya, lima tahun setelah kepulanganku ke tanah
air, Al-Azhar University berhasil membuka fakultas kedokteran di Gaza. Aku
bahagia sekali. Sudah saatnya bangsaku dapat memenuhi kebutuhan terpentingnya.
Aku berharap universitas itu dapat meluluskan para dokter yang dapat menjadi
tumpuan harapan saat krisis melanda.
Aku masih ingat saat ibu berkata bahwa aku
harus bermanfaat bagi orang lain. Saat itu usiaku delapan tahun. Aku menangis
saat rudal-rudal menghancurkan dan membakar sekolahku. Serpihannya menghancurkan
setengah kepala temanku sekaligus menghancurkan hatiku. Aku tidak tahun harus
berbuat apa. Aku tidak mengerti mengapa teman-teman dan saudaraku dibunuh. Aku
tidak tahu apa salah mereka hingga harus berakhir dalam penghancuran seperti
itu. Ibuku memelukku dan merapalkan ayat-ayat dalam kitab suci. Ia
berulang-ulang memintaku untuk memberi manfaat pada orang lain, bukan
menghancurkan seperti ini.
Dua
puluh satu tahun kemudian, aku kembali mengingatkan pesan ibuku. Saat itu
adalah ketika pecahnya intifadhah kedua, bertepatan dengan malam menjelang hari
suci umat Islam. Intifadhah adalah gerakan perlawan rakyat Palestina terhadap
pendudukan Israel. Ketika gerakan itu muncul, anak-anak muda Palestina
berbondong-bondong turun ke jalan dengan katapel. Ariel Sharon yang menjabat
sebagai Perdana Menteri Israel saat itu berusaha memasuki Masjid Al-Aqsha. Demi
Allah, masjid suci itu lambang pertahanan bangsa kami. Di sanalah Nabi
Muhammad(shalallahu ‘alaihi wassalam) bertolak untuk melakukan mi’raj ke langit
ke tujuh, menemui Allah dan para nabi. Masjid itu adalah tempat suci umat
Islam. Mengapakah orang-orang Israel tidak sedikit pun menunjukkan rasa hormat?
Tanah kami bergejolak lagi.
Malam
menjelang hari raya suci umat Islam. Aku berada di ruang gawat darurat Najjar
Hospital. Aku termangu di hadapan puluhan tubuh yang membujur. Kepala mereka
hancur. Aku nyaris limbung. Baru kali ini darah yang membanjiri ruang tempat
aku bertugas itu membuatku seperti kehilangan pegangan. Entah apa yang tersisa
untuk kurasakan. Hanya suara ibu yang terngiang ditelingaku. Aku harus
bermanfaat.
Hari
itu menjadi hari-hari yang sangat panjang dan melelahkan. Generator di rumah
sakit tak berhenti mendengung selama satu minggu. Delapan jam listrik mengalir
setelah itu padam dan delapan jam berikutnya generator mulai dinyalakan. Aku
pun tidak pernah berhenti bekerja. Korban demi korban bergantian berada di
hadapanku. Aku bahkan tidak mengingat lagi di mana keluagaku. Yang kutahu
pasti, mereka ada didalam hati ku. Allah pasti mendengar bisikanku untuk
menjaga mereka. Dalam kondisi seperti ini, siapapun bisa mati, kapan saja.
Berbuat manfaat sebanyak mungkin adalah satu-satunya cara, mungkin untuk menghadapi
kematian yang tidak lama lagi. Malam itu seharusnya kami gembira untuk
menyambut Eid, kami harusnya bertakbir penuh rasa syukur kepada Allah SWT,
bukan bertakbir karena menyaksikan pembantaian manusia. Seharusnya kami
menyiapkan hidangan ternak sembelihan untuk esok hari, bukan untuk menyaksikan
keluarga dan saudara kami “disembelih” seperti ini. Tetapi, kami tetap
berbahagia melepas para syuhada ke tempat peristirahat terakhir mereka.
Kau
tahu, hidup di negaraku tidak pernah mudah. Sejak blokade diberlakukan, tidak
ada yang bisa keluar masuk sembarangan. Bahkan makanan dan obat-obatan pun
tidak bisa dengan mudah didapatkan. Israel mengepung tanah kami dan memberangus
nyawa kami. Meski demikian, kami tidak akan pernah menyesal dan tidak pernah
sedikitpun ingin mengungsi atau minta suaka. Tanah inilah takdir kami. Allah
telah memilih kami untuk menjaga tanah para nabi dari kehancuran yang
ditimbulkan oleh orang-orang Israel. Kami tidak akan pernah lari dari tugas
itu. Kami tidak akan pernah meninggalkan tanah ini tanpa penjaga. Biarkan
orang-orang Israel memenjara raga dan nyawa kami, tetapi jiwa kami akan tetap
merdeka. Mereka tidak akan pernah memasung jiwa kami.
Hari
ini, di sinilah aku kini, di sebuah negeri yang bersahabat bernama Indonesia.
Sudah dua tahun lebih aku tinggal di negara berpenduduk muslim terbesar di
dunia ini. Dokter Prita dan Dokter Basuki, pasangan suami istri yang luar biasa
itu, membawaku ke sini dan membantu dalam banyak hal. Di sini aku menjadi satu
dari dua mahasiswa asing di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Yang
seseorang lagi adalah mahasiswa asal Nepal yang mendalami Pulmonologi. Setiap
hari, aku melewati koridor universitas negeri ternama di Jakarta ini untuk
mendalami neurologi. Aku sengaja mengambil spesialisasi penyakit saraf karena
kasus itu yang banyak terjadi pascaserangan Israel di Palestina. Jumlah dokter
spesialis saraf di Gaza City memang sedikit sekali. Hanya ada satu orang dokter
saraf untuk 150 ribu penduduk Rafah. Hanya ada satu orang dokter saraf untuk
150 ribu penduduk Rafah. Di Khan Yunis, ada sekitar 2-3 orang saja. Sementara
di Gaza hanya 10 dokter saraf untuk 500 ribu penduduk.
Kementerian
Kesehatan Palestina mengutusku untuk belajar spesialisasi neurologi di
Indonesia. Bersyukur aku dapat bertemu dengan rekan sejawat dari Indonesia yang
dengan tulus datang dan memberikan bantuan pada Gaza di tahun 2010. Rasa
syukurku semakin membuncah saat Bulan Sabit Merah Indonesia(BSMI) juga
memberikan beasiswa kepada semua mahasiswa Palestina yang sedang belajar di
Indonesia, termasuk diriku.
Ada
dua orang mahasiswa Palestina yang mendapatkan beasiswa spesialis kedokteran di
Indonesia. Aku dan dr. Mueen Al-Shurafa. Alhamdulillah, aku dan dr. Mueen dapat
membawa keluarga masing-masing untuk ikut tinggal di negara ini hingga
pendidikan dokter spesialis kami selesai.
Sebelum
mulai kuliah, setiap mahasiswa asing di sini diwajibkan untuk mengikuti program
bahasa Indonesia selama 6 bulan. Alhamdulillah, sejak itu aku sudah bisa
bercakap-cakap dan mengerti bahasa Indonesia. Tetapi kadang aku masih tetap
merasa kesulitan mengikuti perkuliahan. Rasanya kuliah di Indonesia lebih sulit
dibandingkan dengan kuliah di Kazakhstan, atau dengan berada di ruang gawat
darurat saat serangan Israel terjadi. Prosedur yang harus dilewati kadang
melelahkan. Terlalu banyak tahapan yang harus dilewati.
Semua
orang Indonesia yang kutemui di sini sangat ramah kepada kami. Setiap kali tahu
aku berasal dari Palestina, mereka menyalami dan memelukku erat-erat. Rasanya
tak satu pun orang Indonesia yang menyebalkan.
Kalau
boleh memilih, sepertinya lebih baik berada di Gaza lagi. Tapi, Gaza memintaku
untuk berada di sini saat ini. Rakyat Palestina ingin aku di sini, menimba ilmu
untuk nanti kembali lagi ke pangkuang tanah airku. Aku akan terus bertahan
menjalani perkulihan yang tidak mudah bagiku. Yang menyenangkan, sebentar lagi
aku akan mendapatkan izin untuk melakukan praktik spesialis neurologi di RS
Cipto MangunKusumo. Aku akan mulai menerapkan teori yang telah kudapatkan di
bangku kuliah.
Bila
Allah SWT mengizinkan, empat atau lima tahun lagi aku akan berada kembali di
Gaza. Ya, masih sangat panjang perjalananku dan perjalanan bangsa kami. Dan
jalan ini memang tidak pernah mudah, aku telah menyadarinya sejak awal. Tetapi
aku sudah bertekad untuk melaluinya dan tidak pernah berpikir untuk lari dari
jalan ini. Aku yakin, aku tidak akan pernah sendiri saat melangkah.
Saudara-saudaraku di sini selalu bersamaku. Saudara-saudara yang dahulu pernah
berjuang menembus kotaku yang dipasung Israel. Saudara-saudaraku yang datang ke
kota tempat tinggalku dengan bantuan alat medis, obat-obatan, dan tak peduli
dengan ancaman senjata Israel. Aku tidak akan pernah melupakan itu. Kami,
bangsa Palestina tidak akan pernah melupakan kebaikan mereka, seperti mereka
tidak akan pernah melupakan Masjid Al-Aqsha.
(Dituliskan
oleh Aminah Mustari, berdasarkan wawancara dengan
dr.
Ameen An-Nawajha, dokter Umum Najjar Hospital, Rafah,
Residen
Neurologi FKUI)
Sumber: Membalut Luka Gaza, Perjalanan Para Dokter
dan Relawan untuk Mengembalikan Senyuman Palestina, karya dr. Prita K., Sp.
O.G., dkk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar