Sabtu, 16 Agustus 2014

Menuntut ilmu ke Indonesia


Namaku Ameen Al-Athiya An-Nawajha. Aku lahir di Rafah, sebuah wilayah perbatasan antara Gaza City, Palestina, dengan wilayah Mesir. Kau mungkin tidak akan menemukan nama Palestina, tanah airku, dalam daftar negara yang diakui di dunia. Tapi, kau bisa menemukan nama Palestina, tanah airku, dalam daftar negara yang diakui di dunia. Tapi kau bisa menemukan negara Israel. Di dalam wilayah itulah negara kami berada.

Tahun 1948, sebuah negara bernama Israel berdiri di atas tanah bangsa kami. Orang-orang Yahudi yang berpencar di seluruh dunia berduyun-duyun datang ke tanah kami. Mereka datang bergelombang, berkelompok, lalu membangun pemukiman-pemukiman untuk kaum mereka sendiri. Mereka datang bukan untuk menjabat tangan kami dan tinggal berdampingan, tapi meminggirkan kami, membangun tembok-tembok tinggi, dan mengancam kami dengan moncong senjata mereka. Kami terusir di tanah sendiri.


Aku seorang dokter umum di Najjar Hospital di Rafah, Gaza City. Menolong orang, siapa pun dia, adalah kegemaranku. Sejak lahir, aku menyaksikan orang-orang terluka di depan mataku. Rasanya menyakitkan tidak berdaya di hadapan mereka yang sedang terluka. Karena itulah, aku memutuskan untuk meninggalkan negaraku selama enam tahun dan tinggal di Kazakhstan. Aku belajar ilmu kedokteran di Kazakh University karena tidak satu pun universitas di Palestina yang mampu menyelenggarakan pendidikan kedokteran. Padahal, dokter adalah salah satu profesi penting yang harus dimiliki oleh negaraku yang compang-camping diterjang rudal Israel. Untungnya, lima tahun setelah kepulanganku ke tanah air, Al-Azhar University berhasil membuka fakultas kedokteran di Gaza. Aku bahagia sekali. Sudah saatnya bangsaku dapat memenuhi kebutuhan terpentingnya. Aku berharap universitas itu dapat meluluskan para dokter yang dapat menjadi tumpuan harapan saat krisis melanda.
 Aku masih ingat saat ibu berkata bahwa aku harus bermanfaat bagi orang lain. Saat itu usiaku delapan tahun. Aku menangis saat rudal-rudal menghancurkan dan membakar sekolahku. Serpihannya menghancurkan setengah kepala temanku sekaligus menghancurkan hatiku. Aku tidak tahun harus berbuat apa. Aku tidak mengerti mengapa teman-teman dan saudaraku dibunuh. Aku tidak tahu apa salah mereka hingga harus berakhir dalam penghancuran seperti itu. Ibuku memelukku dan merapalkan ayat-ayat dalam kitab suci. Ia berulang-ulang memintaku untuk memberi manfaat pada orang lain, bukan menghancurkan seperti ini.
Dua puluh satu tahun kemudian, aku kembali mengingatkan pesan ibuku. Saat itu adalah ketika pecahnya intifadhah kedua, bertepatan dengan malam menjelang hari suci umat Islam. Intifadhah adalah gerakan perlawan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel. Ketika gerakan itu muncul, anak-anak muda Palestina berbondong-bondong turun ke jalan dengan katapel. Ariel Sharon yang menjabat sebagai Perdana Menteri Israel saat itu berusaha memasuki Masjid Al-Aqsha. Demi Allah, masjid suci itu lambang pertahanan bangsa kami. Di sanalah Nabi Muhammad(shalallahu ‘alaihi wassalam) bertolak untuk melakukan mi’raj ke langit ke tujuh, menemui Allah dan para nabi. Masjid itu adalah tempat suci umat Islam. Mengapakah orang-orang Israel tidak sedikit pun menunjukkan rasa hormat? Tanah kami bergejolak lagi.
Malam menjelang hari raya suci umat Islam. Aku berada di ruang gawat darurat Najjar Hospital. Aku termangu di hadapan puluhan tubuh yang membujur. Kepala mereka hancur. Aku nyaris limbung. Baru kali ini darah yang membanjiri ruang tempat aku bertugas itu membuatku seperti kehilangan pegangan. Entah apa yang tersisa untuk kurasakan. Hanya suara ibu yang terngiang ditelingaku. Aku harus bermanfaat.
Hari itu menjadi hari-hari yang sangat panjang dan melelahkan. Generator di rumah sakit tak berhenti mendengung selama satu minggu. Delapan jam listrik mengalir setelah itu padam dan delapan jam berikutnya generator mulai dinyalakan. Aku pun tidak pernah berhenti bekerja. Korban demi korban bergantian berada di hadapanku. Aku bahkan tidak mengingat lagi di mana keluagaku. Yang kutahu pasti, mereka ada didalam hati ku. Allah pasti mendengar bisikanku untuk menjaga mereka. Dalam kondisi seperti ini, siapapun bisa mati, kapan saja. Berbuat manfaat sebanyak mungkin adalah satu-satunya cara, mungkin untuk menghadapi kematian yang tidak lama lagi. Malam itu seharusnya kami gembira untuk menyambut Eid, kami harusnya bertakbir penuh rasa syukur kepada Allah SWT, bukan bertakbir karena menyaksikan pembantaian manusia. Seharusnya kami menyiapkan hidangan ternak sembelihan untuk esok hari, bukan untuk menyaksikan keluarga dan saudara kami “disembelih” seperti ini. Tetapi, kami tetap berbahagia melepas para syuhada ke tempat peristirahat terakhir mereka.
Kau tahu, hidup di negaraku tidak pernah mudah. Sejak blokade diberlakukan, tidak ada yang bisa keluar masuk sembarangan. Bahkan makanan dan obat-obatan pun tidak bisa dengan mudah didapatkan. Israel mengepung tanah kami dan memberangus nyawa kami. Meski demikian, kami tidak akan pernah menyesal dan tidak pernah sedikitpun ingin mengungsi atau minta suaka. Tanah inilah takdir kami. Allah telah memilih kami untuk menjaga tanah para nabi dari kehancuran yang ditimbulkan oleh orang-orang Israel. Kami tidak akan pernah lari dari tugas itu. Kami tidak akan pernah meninggalkan tanah ini tanpa penjaga. Biarkan orang-orang Israel memenjara raga dan nyawa kami, tetapi jiwa kami akan tetap merdeka. Mereka tidak akan pernah memasung jiwa kami.
Hari ini, di sinilah aku kini, di sebuah negeri yang bersahabat bernama Indonesia. Sudah dua tahun lebih aku tinggal di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini. Dokter Prita dan Dokter Basuki, pasangan suami istri yang luar biasa itu, membawaku ke sini dan membantu dalam banyak hal. Di sini aku menjadi satu dari dua mahasiswa asing di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Yang seseorang lagi adalah mahasiswa asal Nepal yang mendalami Pulmonologi. Setiap hari, aku melewati koridor universitas negeri ternama di Jakarta ini untuk mendalami neurologi. Aku sengaja mengambil spesialisasi penyakit saraf karena kasus itu yang banyak terjadi pascaserangan Israel di Palestina. Jumlah dokter spesialis saraf di Gaza City memang sedikit sekali. Hanya ada satu orang dokter saraf untuk 150 ribu penduduk Rafah. Hanya ada satu orang dokter saraf untuk 150 ribu penduduk Rafah. Di Khan Yunis, ada sekitar 2-3 orang saja. Sementara di Gaza hanya 10 dokter saraf untuk 500 ribu penduduk.
Kementerian Kesehatan Palestina mengutusku untuk belajar spesialisasi neurologi di Indonesia. Bersyukur aku dapat bertemu dengan rekan sejawat dari Indonesia yang dengan tulus datang dan memberikan bantuan pada Gaza di tahun 2010. Rasa syukurku semakin membuncah saat Bulan Sabit Merah Indonesia(BSMI) juga memberikan beasiswa kepada semua mahasiswa Palestina yang sedang belajar di Indonesia, termasuk diriku.

 
Ada dua orang mahasiswa Palestina yang mendapatkan beasiswa spesialis kedokteran di Indonesia. Aku dan dr. Mueen Al-Shurafa. Alhamdulillah, aku dan dr. Mueen dapat membawa keluarga masing-masing untuk ikut tinggal di negara ini hingga pendidikan dokter spesialis kami selesai.
Sebelum mulai kuliah, setiap mahasiswa asing di sini diwajibkan untuk mengikuti program bahasa Indonesia selama 6 bulan. Alhamdulillah, sejak itu aku sudah bisa bercakap-cakap dan mengerti bahasa Indonesia. Tetapi kadang aku masih tetap merasa kesulitan mengikuti perkuliahan. Rasanya kuliah di Indonesia lebih sulit dibandingkan dengan kuliah di Kazakhstan, atau dengan berada di ruang gawat darurat saat serangan Israel terjadi. Prosedur yang harus dilewati kadang melelahkan. Terlalu banyak tahapan yang harus dilewati.
Semua orang Indonesia yang kutemui di sini sangat ramah kepada kami. Setiap kali tahu aku berasal dari Palestina, mereka menyalami dan memelukku erat-erat. Rasanya tak satu pun orang Indonesia yang menyebalkan.
Kalau boleh memilih, sepertinya lebih baik berada di Gaza lagi. Tapi, Gaza memintaku untuk berada di sini saat ini. Rakyat Palestina ingin aku di sini, menimba ilmu untuk nanti kembali lagi ke pangkuang tanah airku. Aku akan terus bertahan menjalani perkulihan yang tidak mudah bagiku. Yang menyenangkan, sebentar lagi aku akan mendapatkan izin untuk melakukan praktik spesialis neurologi di RS Cipto MangunKusumo. Aku akan mulai menerapkan teori yang telah kudapatkan di bangku kuliah.
Bila Allah SWT mengizinkan, empat atau lima tahun lagi aku akan berada kembali di Gaza. Ya, masih sangat panjang perjalananku dan perjalanan bangsa kami. Dan jalan ini memang tidak pernah mudah, aku telah menyadarinya sejak awal. Tetapi aku sudah bertekad untuk melaluinya dan tidak pernah berpikir untuk lari dari jalan ini. Aku yakin, aku tidak akan pernah sendiri saat melangkah. Saudara-saudaraku di sini selalu bersamaku. Saudara-saudara yang dahulu pernah berjuang menembus kotaku yang dipasung Israel. Saudara-saudaraku yang datang ke kota tempat tinggalku dengan bantuan alat medis, obat-obatan, dan tak peduli dengan ancaman senjata Israel. Aku tidak akan pernah melupakan itu. Kami, bangsa Palestina tidak akan pernah melupakan kebaikan mereka, seperti mereka tidak akan pernah melupakan Masjid Al-Aqsha.

(Dituliskan oleh Aminah Mustari, berdasarkan wawancara dengan
dr. Ameen An-Nawajha, dokter Umum Najjar Hospital, Rafah,
Residen Neurologi FKUI)


Sumber: Membalut Luka Gaza, Perjalanan Para Dokter dan Relawan untuk Mengembalikan Senyuman Palestina, karya dr. Prita K., Sp. O.G., dkk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar