Di era
komunikasi dan digital seperti sekarang ini, film tidak lagi sebagai satu
bentuk hiburan yang elit. Apalagi setelah terjadinya perkembangan pesat di
dunia teknologi sehingga pembuatan film tidak lagi dirasa sesulit seperti saat
awal kali diciptakan. Sebab, kini film bisa dikemas dalam bentuk kaset video,
kepingan CD dan DVD. Tak salah jika sekarang film seolah-olah merupakan satu
hiburan yang sudah populis sebab bisa ditemui kapan saja dalam setiap saat,
tidak harus lewat layar lebar seperti gedung bioskop semata. Dari fenomena itu
pula, tak bisa dipungkiri, ketika menjamur stasiun televisi swasta di negeri
ini, pada akhirnya acara pemutaran film menjadi satu unggulan yang hidangkan
pada pemirsa. Setidaknya, lewat televisi, kini kita juga bisa mencari channel
sesuka hati dan memilih film mana yang sekiranya kita senangi.
Pada sisi lain, di negeri kita juga
sedang terjadi kebangkitan dunia perfilman nasional yang dulu sempat vakum
selama satu dasawarsa. Kebangkitan perfilman nasional itu, terjadi setelah
dilecut beredarnya film Ada
Apa dengan Cinta. Apalagi,
setelah itu film-film serupa yang bertemakan cinta remaja pun bermunculan,
setelah seperti Eiffel... I’m
in Love, Cinta 24 Karat, 30 Hari Mencari Cinta dan Mengejar
Matahari. Tentunya, semua itu membuat dunia perfilman kita marak kembali.
Seiring dengan terjadinya kebangkita
perfilman nasional, animo masyarakat pun-terutama penonton remaja-ternyata juga
cukup tinggi. Tidak salah, kalau gedung-gedung bioskop di hampir sebagian kota
besar. Kini terlihat ramai kembali didatangi penonton yang haus hiburan. Belum
lagi, di bioskop-bioskop juga diputar film-fim asing dari hollywood yang juga
menarik minat penonton. Dari situ, bisa dikata jika film adalah satu hiburan
yang memang digandrungi. Apalagi, bagi masyarakat kota yang butuh hiburan
sehabis bekerja atau di saat libur. Pendeknya, film sudah menjadi teman atau
kawan dalam menemani kita untuk tidak kesepian.
Tapi dibalik semua itu juga tidak bisa
dinafikan kalau film sebagai salah satu hiburan tidak selamanya memberi sajian
yang layak dan baik. Tak jarang, malah ada suguhan pornografi, seks dan juga
kekerasan, yang tentunya membuat orangtua pada khususnya dari umat islam pada
umumnya menjadi ketar-ketir menanggapi fenomena tersebut. Dari situlah, kemudia
bisa dipahai jika tidak sedikit dari orang tua kita yang kemudia melarang
anak-anaknya menonton film. Alasan yang kerapkali dikemukakan, selain menonton
film itu sesuatu yang tidak ada manfaatnya, sia-sia belaka buang-buang waktu
saja, juga ditengarai bisa melupakan kewajiban, terutama sekali bagi pelajar.
Bahkan, untuk film-film holywood dianggap merusak citra islam dengan opini
massa penyebaran ideologi sesat lewat misi tertentu; zionisme, seks bebas dan
kekerasan.
Dapat dipahami , kalau film kemudian
dipandang miring oleh sebagian besar umat Islam. Bahkan ada juga yang
mengharamkan. Soalnya, keabsahan film jika dilihat dari hukum Islam dinilai
lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Juga, terutama soal hukumnya dari
segi fiqih. Tak pelak, jika dari fenomena itu kita kemudian layak bertanya:
bagaimanakah Islam sendiri memandang film? Apakah film itu hukumnya halal
ataukah haram?
Film itu pada hakekatnya adalah karya
cipta manusia yang dimaksudkan untuk tujuan menghibur. Film dapat pula
diartikan sebagai “arsip sosial” yang coba merekam pernyataan hidup satu
masyarakat tertentu sesuai dengan waktu dan tempatnya. Salah seorang ulama
besar seperti Yusuf Qardhawi pun melihat film sebagai karya cipta seni dan
budaya sebagai alat komunikasi yang sangat vital untuk mengarahkan dan
memberikan hiburan.
Tak salah, jika dengan pengertian itu
Yusuf Qardhawi kemudian menilai film itu kedudukannya netral. Pendeknya, film
itu tidak ubahnya seperti “alat atau pisau” sehingga status film itu lebih tergantung
kepada pembuat dan penggunanya. Apakah akan menggunakanya untuk tujuan
kemaksiatan atau untuk tujuan dakwah. Jadi film itu-menurut Yusuf Qardhawi-
hukumnya halal dan baik. Karena status hukum film itu tergantung pada
penggunanya-dalam hal ini dari tujuan dibuatnya itu sendiri atau tujuan kita
menontonnya. Yang jadi persoaln kemudian adalah bukan masalah perkara hukum
Islam atau fiqihnya dalam memandang soal film itu halal atau haram, tetapi
dampak yang ditimbulkanya. Justru sebaliknya, karena film itu sebenarnya
bersifat memberi hiburan dan manusia butuh kesenangan, maka hal itu sudah
menjadi fitrah manusia. Artinya, sah-sah saja dan tidak ada yang salah. Apalagi
film itu merupakan sarana dakwah, semisal dalam film itu diketengahkan “nilai
buruk” narkoba dan perbuatan zina, maka itu merupakan amar ma’aruf nahi munkar.
Film dengan tema seperti ini, juga tak sedikit. Salah satunya adalah film Sunan Kalijaga. Bahkan, contoh
film yang mengusung tema agama ditengah kehidupan kota besar seperti yang dibuat
Dedi Mizwar dengan judul Kiamat
Sudah Dekat, sebuah film yang memang dimaksudkan untuk tujuan dakwah.
Karena itu, bukanlah langkah “bijak”
dengan melarang nonton tanpa sebelumnya kita sendiri tahu dan melihat film
tersebut terlebih dahulu. Sebab, tidak jarang kita belum atau menonton filmnya,
tapi sudah berkomentar yang bukan-bukan. Alangkah baiknya, jika kita –menurut
Ekky Al-Maliky dalam buku Remaja
Doyan Nonton- menonton film selain untuk tujuan mencari hiburan, juga untuk
mengapresiasikannya jika dalam film itu ada pesan baik yang bisa dipetik.
Sebab, dibalik tayangan film, tidak bisa diingkari pasti ada yang bisa
direngkuh dari pesan yang disampaikan si pembuat film.
Atas dasar itu pula, Dian Sastro,
seorang bintang film yang tenar lewat film Ada
Apa dengan Cinta sempat
berkomentar perihal film. Bagi artis cantik ini, menonton film selain tujuan
sebenarnya yang menghibur, juga ada nilai yang bisa diambil, diteladani dan
dijadikan pelajaran hidup. Sebab, film dapat membuka pikiran dan memberikan
sebuan inspirasi.
Dikutip
dari majalah Hidayah edisi 45 bulan juli tahun 2005 oleh Nur Mursidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar